Nyoba Baca

Kamis, 30 September 2010

Dasar Konsep IE dalam budaya Masyarakat Jepang

Sebenarnya tulisan kali ini merupakan review kuliah tadi pagi. Minggu ini baru kuliah pertemuan kedua, namun sejak awal pertemuan, dosen ini telah membuatku respek padanya. Dari caranya memandu kuliah pertama kali, Aku langsung bisa menilai bahwa akan banyak hal-hal baru yang menarik untuk kupelajari darinya.

Hari ini kami belajar tentang sistem ie. Ie, dapat berarti keluarga ataupun bangunan rumah.
Menurut Ruth Benedict, penulis buku The Chrysanthemum and The Sword, kehidupan masyarakat Jepang tidak bisa dilepaskan dari sistem hirarki sejak dahulu kala. Sistem hirarki ini tercermin
salah satunya dalam sistem ie (keluarga).
Fukutake mengungkapkan bahwa sejak zaman Tokugawa (samurai), sistem ini mulai dianut oleh masyarakat Jepang, dan bahkan dikukuhkan dalam Hukum Sipil Meiji pasca Restorasi Meiji (tahun 1868). Garis besar isinya:
1. Kepentingan ie harus mendapat prioritas daripada kepentingan pribadi.
2. Kachou (dalam hal ini kepala keluarga), mempunyai wewenang yang besar dalam aspek penting keluarga, baik itu perekonomian, hak waris, dan pemujaan leluhur.
3. Hubungan oyako (orang tua dan anak) lebih dijunjung tinggi dibanding hubungan suami-istri.
4. Chounan (putra tertua) mempunyai hak waris utama dibandingkan jinnan (putra II dan sannan (putra III).
5.  Harkat laki-laki lebih dihargai daripada wanita.
6. Perkawinan lebih merupakan penyatuan ie daripada penyatuan suami-istri.
7. Honke (keluarga utama) lebih diutamakan daripada bunke.
Menurut Torigoe Hiroyuki, ie adalah dasar kehidupan orang Jepang dalam hal ini untuk beberapa tujuan, yaitu: melestarikan myoji (nama keluarga), melestarikan zaisan (warisan keluarga) dan sebagai sosen suuhai (pemujaan leluhur).
Sedangkan menurut Inoue Tetsujiro Ie harus dipahami dari ciri-ciri khasnya yaitu: ada kachou, harus ada ketaatan menghormati kachou, dan adanya kesinambungan sejarah keluarga.

Sistem kekerabatan yang dianut oleh orang Jepang adalah sistem patrilineal atau menarik garis keturunan dari pihak ayah. Untuk itu, kedudukan laki-laki dianggap jauh lebih tinggi daripada wanita. Kachou adalah sebutan bagi ayah dan suami sebagai pemimpin keluarga. Kachou merupakan tokoh sentral dan mempunyai derajat tertinggi di antara semua anggota keluarga sehingga dia memiliki hak-hak istimewa, misalnya: mendapat pembagian nasi paling pertama saat makan, duduk di posisi paling utama di meja makan, mandi di ofuro (bathtub ala Jepang) paling pertama pula (perlu diketahui bahwa air panas dalam ofuro dulu dipakai mandi oleh seluruh anggota keluarga tanpa diganti, dimulai dari kachou, chounan, jinnan, sannan, dst). Hak-hak tersebut di atas diikuti juga oleh kewajiban. Kachou menjadi tulang punggung keluarga. Ini berkaitan dengan peranan ekonominya. Hak istimewanya mendapatkan warisan keluarga (zaisan) menuntutnya untuk mampu menafkahi keluarga, termasuk istri, anak-anak dan orang tuanya.

Chounan atau anak laki-laki pertama memiliki kedudukan yang tidak kalah pentingnya. Chounan dianggap sebagai penerus nama keluarga dan kelak akan menjadi kachou di keluarganya. Sedemikian pentingnya keberadaan seorang putra dalam meneruskan nama keluarga sehingga ada yang disebut mukou yoshi. Istilah  ini merujuk kepada kebiasaan di keluarga yang hanya memiliki anak perempuan untuk menarik suami anaknya menjadi penerus keluarganya. Pada situasi seperti ini, sang menantu laki-laki terkesan keluarganya memiliki derajat yang lebih rendah daripada keluarga istrinya sehingga ia rela untuk merubah nama keluarga dan ditarik masuk ke dalam garis keluarga istrinya. Saking beratnya konsekuensi menjadi seorang mukou yoshi, maka muncul peribahasa,
"San go nuka areba, yoshi ni ikuna".
Artinya: Andaikan masih ada 3-5 butir beras, jangan lah mau menjadi mukou yoshi".

Jika diperhatikan, kedudukan wanita dalam sistem ie sangat rendah. Dikatakan bahwa, seorang wanita pada masa kecilnya mengabdi kepada ayahnya, setelah menikah mengabdi kepada suami, dan setelah tua mengabdi kepada anak laki-lakinya. Ada peribahasa juga yang menyangkut situasi ini,
"Oyome ni ikeba, tanin ni hajimari".
Artinya: Jika telah menjadi pengantin wanita, maka itu adalah awal menjadi orang lain (bagi keluarga wanita)". Dikatakan demikian, karena begitu seorang wanita menikah, maka ia akan ikut ke dalam keluarga suaminya sehingga hubungan dirinya dengan keluarganya sendiri bisa dikatakan terputus. Dikenal juga istilah shichikyou (7 aturan untuk menceraikan istri) yaitu alasan-alasan yang meliputi: bila istri tidak mempunyai anak, sakit parah, cerewet, mengambil uang, pencemburu, dan tidak patuh kepada suami dan mertua).

Sebenarnya, menurut Aruga Kizaemon, eksistensi ie tidak semata-mata karena adanya keturunan darah, namun dapat pula diteruskan oleh pelayan keluarga tersebut dengan catatan bahwa pelayan tersebut memiliki kazoku ishiki (kesadaran akan rasa memiliki terhadap keluarga tersebut), adanya rasa hubungan keagamaan dalam bentuk sosen suuhai, adanya hubungan ekonomi, hukum, moral, budaya, dll.
 Ideologi keluarga tradisional ie mulai dianut pada zaman Tokugawa dan kemudian menjadi kazoku kokka (konsep negara keluarga) pada sebelum hingga pasca Perang Dunia II.
----
-Intinya adalah sejak zaman dahulu kala Jepang telah mengenal sistem hirarki yang ketat yang dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga.
-Wanita menduduki posisi submarginal dalam masyarakat Jepang.
Sistem ie kemudian diterapkan dalam perusahaan-perusahaan Jepang hingga saat ini. Pasca PD II sistem ini sebenarnya telah dihapuskan oleh pemerintah. Namun, jika ditilik dari seberapa panjangnya masa sistem ini dianut oleh orang Jepang, maka tidak heran jika sistem ini masih mendarah daging di orang Jepang.
Budaya masa lalu Jepang yang tetap lestari hingga saat ini dilatarbelakangi oleh sejarah yang panjang, yang mungkin tidak dimiliki oleh bangsa lain.

Satu hal lagi yang penting untuk kuutarakan di sini adalah,
"Aku bersyukur terlahir sebagai wanita di Indonesia.."

-Selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar