Selasa, 21 Juni 2011

Mubazir? Ataukah..

Ini adalah buah Biwa dalam bahasa Jepang. Sepertinya aku belum pernah melihat buah yang sejenis di Indonesia. Aku tidak bisa menggambarkan rasanya tetapi menurut teman-temanku yang pernah mencicipinya, rasanya sangat manis. Pantas saja harganya cukup mahal di supermarket. Untuk sekitar 10 biji buah ini, bisa dihargai sekitar 30-40ribu rupiah. Jika ukurannya sebesar apel Fuji atau jeruk manis, mungkin tidak akan begitu rugi rasanya menghabiskan uang sebanyak itu. Masalahnya, buah ini paling besar hanya seukuran biji nangka.. Karena alasan itulah aku belum pernah membelinya. Aku lebih memilih membeli melon Mexico berwarna kuning yang ukurannya sangat besar dengan harga jauh lebih murah ketimbang 10 biji Biwa yang kecil-kecil.

Yang ingin kubahas di sini bukan tentang buah ini sebenarnya, tetapi lebih ke kebiasaan hidup orang Jepang.
Setiap hari aku lewat di pintu gerbang utara kampus dan pasti melewati beberapa pohon yang tumbuh mengelilingi kampus. Sejak awal datang aku merasa penasaran dengan sebuah pohon yang tumbuh di depan apartemen dekat gerbang itu. Pohonnya tidak begitu tinggi, hampir seperti pohon jambu kalau di Indonesia. Tumbuhnya juga di pinggir jalan tanpa ada pagar yang membatasinya.Yang menarik adalah buahnya yang kecil-kecil dan berwarna hijau. Aku semakin penasaran dengan kantung kertas yang membungkus beberapa buah yang masih hijau itu. Mungkin agar buahnya tidak dihinggapi lalat buah (apa ada ya di Jepang?) atau agar tidak jatuh ke tanah. Ketika kuperhatikan, mungkin hanya sekitar 5% dari buah yang ada yang dibungkus. Selebihnya dibiarkan begitu saja. 

Waktu berlalu dan warna buah mulai menguning. Saat itulah aku sadar bahwa persis di dalam pekarangan kampus tidak jauh dari apartemen itu, juga terdapat pohon yang sama. Dahannya menjuntai hingga ke atas sungai kecil yang mengalir di belakang kampus. Semakin lama buah di kedua pohon itu semakin menguning hingga menjadi orange cerah. Setelah itu, setiap pagi aku lihat beberapa buah mulai jatuh ke tanah karena telah matang. 
Yang membuatku heran adalah buah itu dibiarkan begitu saja matang hingga membusuk dan jatuh dari pohonnya. Tidak pernah sekalipun aku lihat ada seorangpun mahasiswa atau penduduk yang mencoba mengambil buahnya. Bahkan, untuk sekedar menoleh melihat pohon itupun tidak. Mungkin cuma aku dan seorang teman lain dari Indonesia yang merasa cukup peduli pada nasib buah-buah yang jatuh dan terinjak-injak kendaraan yang lalu lalang ataupun terbawa arus sungai yang tenang. Sesekali jika aku melintas di sore hari, aku lihat seorang bapak tua yang sepertinya pemilik pohon di depan apartemen itu menyapu dan membersihkan daun-daun dan buah yang bertebaran di sekitar pohon. Sedangkan pohon buah Biwa yang berada di dalam pekarangan kampus dibiarkan begitu saja. Jika buah Biwa itu seperti buah Mengkudu yang juga banyak ditanam di pinggir jalan di Indonesia, tidaklah mengherankan jika dibiarkan membusuk begitu saja karena rasanya yang memang tidak enak. Tetapi buah Biwa berbeda. Rasanya katanya sangat manis dan harganya mahal di supermarket. Bukankan ini mubazir karena menyia-nyiakan makanan begitu saja?

Aku ingat dulu di sekolah Bapak banyak pohon mangga. Jika sedang musim, semua pohon berbuah dengan lebatnya. Yang menjadi masalah adalah buah itu jarang sekali bisa bertahan di pohonnya hingga benar-benar matang. Banyak tangan-tangan jahil siswa maupun guru dan pegawai sekolah yang selalu berusaha mengambil buahnya sejak masih hijau sekalipun. Sepertinya ada aturan tidak tertulis bahwa apapun yang tumbuh di wilayah publik menjadi milik publik. Kondisi ini sangat berbeda dengan di Jepang. Sepertinya prinsip hidup untuk tidak mengganggu hak milik orang lain masih dipegang teguh oleh mereka. Pohon buah Biwa yang berbuah lebat tanpa ada pagar di sekelilingnya tetap aman tidak tersentuh. Mereka lebih memilih membiarkan buahnya jatuh dan membusuk begitu saja ketimbang mengambilnya. Di satu sisi aku bisa berpikir bahwa itu sangat mubazir. Tetapi di sisi lain aku belajar bagaimana masyarakat Jepang, khususnya generasi mudanya, yang sering dikatakan telah lupa akan nilai-nilai tradisionalnya di era modern ini terbukti tetap memiliki prinsip hidup yang luar biasa.

Buah Biwa hanya satu dari berbagai contoh yang bisa kuberikan. Ada hal lain yang juga sangat menarik buatku mengenai kejujuran. Di sini, kita bisa menyimpan tas ataupun benda-benda yang cukup berharga di tempat terbuka tanpa harus ada rasa was-was. Aku sering meninggalkan barang belanjaan di keranjang sepeda yang kuparkir di kampus tanpa sedikitpun berpikir akan ada yang mengambilnya dengan sembunyi-sembunyi. Demikian pula ketika tidak sengaja meninggalkan kartu koperasi atau dompet sekalipun di perpustakaan. Aku sangat yakin bahwa benda itu pasti masih berada di tempatnya semula. Atau jika tidak, pasti sudah berada di tangan pegawai perpustakaan.

Di awal kedatanganku pernah aku diberi sebuah setrika dan termos listrik oleh seorang teman dan dibawa ke kampus.
"Gimana nih, ga akan bisa masuk ke kelas bawa setrika dan termos kayak gini..", kataku dengan perasaan agak kuatir.
"Simpan aja di keranjang sepeda atau di depan kelas. Ga akan ada yang ambil kok".
"Tar kalau hilang gimana?"
"Ga mungkin hilang. Dijamin. Orang Jepang biar dibayar mahal sekalipun ga akan mau ngambil barang milik orang", jawab temanku dengan nada suara yang sangat yakin. Dan memang terbukti demikian.

Rumah-rumah dan apartemen dulu katanya tidak pernah dikunci jika ditinggalkan oleh pemiliknya. Demikian pula dengan supermarket dan departemen store yang tidak menyediakan tempat penitipan tas, jaket dan benda-benda lain yang dicurigai bisa digunakan untuk menyembunyikan barang. Siapa saja bisa masuk dengan membawa tas yang terbuka lebar sekalipun.
Hanya saja, dengan mulai banyaknya orang asing yang datang ke Jepang, tingkat kriminalitas juga meningkat. Tingkat perekonomian yang mulai menurun membuat banyak juga orang Jepang yang berbuat kriminal. Meskipun begitu, persentasenya masih sangat rendah jika dibandingkan negara-negara lain termasuk Indonesia. Tingkat kepercayaan juga relatif masih tinggi. Saat ini orang-orang selalu memastikan mengunci pintu rumah sebelum bepergian untuk mengantipasi kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Namun, sistem tempat penitipan dan pemeriksaan barang bawaan sebelum masuk ke pusat perbelanjaan atau perpustakaan misalnya, belum diterapkan. Yang ada hanyalah sistem pengamanan berupa kamera pengintai yang ditempatkan di beberapa sisi.

Itulah salah satu cerita positf tentang Jepang yang berawal dari minatku pada buah Biwa di pekarangan kampus.

~Selesai~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar