Kamis, 30 Juni 2011

Arah Nasib..

Duduk di bawah pepohonan petang ini terasa begitu sejuk. Angin sepoi berhembus perlahan di antara dedaunan hijau cerah yang melambai di atasku. Ini membuatku betah menghabiskan sedikit waktu sambil menunggu dimulainya kelas berikutnya. Hari ini memang tidak seperti beberapa hari sebelumnya yang begitu panas menyengat. 
Suara lonceng tanda kuliah sebelumnya baru berakhir terdengar. Segerombolan mahasiswa terlihat keluar dari gedung kuliah di sebelah kananku. Beberapa yang lain mulai menyusul di belakangnya. Sementara itu jendela-jendela perpustakaan di sebelah kiriku mulai dibuka. Ya, udara yang mulai sejuk pertanda AC perpustakaan harus dimatikan dan jendela dibuka lebar-lebar agar udara sejuk bisa masuk ke dalam. Aku tersenyum. Sudut jendela di lantai 3 itulah tempat aku biasanya menghabiskan waktu di luar kuliah. Kadang dengan penuh semangat aku belajar ketika sebuah materi kuliah menarik perhatianku. Namun tidak jarang pula kebosanan luar biasa menderaku. Hmm.. Tampaknya kali ini tidak ada yang duduk di sudut itu.
Nasib sepertinya telah membawaku  jauh ke kota ini. Matsuyama... Setahun yang lalu mendengar namanya saja aku tidak pernah. Apalagi berharap akan menghabiskan waktu cukup lama di sini pun aku tidak berani. Persis setahun yang lalu aku baru selesai mengadakan seminar bahasa untuk guru-guru SMA di kampus ketika panggilan untuk mengikuti wawancara Monbusho di Jakarta aku terima. 
Entah keberanian dari mana sehingga aku akhirnya berhasil menaklukkan ketakutan yang sekian lama mendekam di diriku untuk mendaftar beasiswa ke luar negeri. Rasa rendah diri dan pesimis berhasil kujauhkan dengan janji bahwa ini yang pertama dan terakhir kalinya aku mendaftar. Dengan modal nekad dan bantuan dari orang-orang terdekat akhirnya formulir aplikasi kukirim. LoA dari sebuah universitas swasta di Kobe yang kuperoleh berkat kebaikan seorang kenalan di sana tidak lantas membuatku berpikir untuk bisa lolos ke tahap wawancara. Buatku, yang penting tahun ini aku harus mendaftar apapun hasilnya.
Karena itulah, sambil membereskan dokumen-dokumen pasca seminar, aku juga mulai membenahi persiapanku untuk lanjut di UI Jakarta. Ya, aku telah dinyakan lulus seleksi  masuk Pascasarjana UI. Yang ada di pikiranku saat itu memang hanya akan menghabiskan 2 tahun di sana dan kembali pulang ke Makassar dengan gelar Master. Makanya, ketika panggilan wawancara itu datang, aku begitu takjub dan bahagia.
Bagaimana sampai aku bisa berada di Ehime University, bukannya di Kobe Shoin Women University seperti rencana awal mungkin terlalu panjang untuk diceritakan satu persatu. Itulah, nasib telah membawaku jauh sekali ke pelosok pulau Shikoku ini. Aku masih ingat bagaimana kagetnya aku ketika baru benar-benar memperhatikan dengan seksama peta Jepang dan menemukan bahwa ternyata kampus ini berada di ujung kiri pulau Shikoku, bukannya di ujung kanan seperti yang aku kira sebelumnya.
Aku memang pernah ke Shikoku 4 tahun yang lalu. Ke Tokushima tepatnya. Libur musim dingin dan  perayaan tahun baru kala itu kuhabiskan di rumah seorang teman yang berada tepat di tengah kota Tokushima. Posisi Tokushima  yang cukup dekat dengan kota besar Osaka membuatku berpikir bahwa Ehime juga pastinya tidak begitu jauh dari situ. Jika ditanya mengapa sebelum-sebelumnya aku tidak tergerak untuk mencari tahu di mana aku akan ditempatkan, aku sendiri tidak tahu. Mungkin euforia kelulusan di Jepang telah menutup mataku dan membuatku pasrah. Atau mungkin juga kesibukan mengurus dokumen-dokumen dan persiapan sebelum keberangkatan telah menyita semua perhatianku. Entahlah..
Aku memandang lurus ke depan, tepat ke sebuah pohon Sakura yang berdiri  kokoh di sisi kiri gerbang utama kampus. Aku ingat 3 bulan yang lalu ketika aku datang, tidak sehelaipun daun hijau di pohon itu. Yang ada adalah kembang-kembang Sakura yang sedang mekar nyaris sempurna yang membuatnya begitu indah. Sekarang, pohon itu dipenuhi daun-daun hijau yang menyegarkan mata jika memandangnya. Pohon-pohon yang berada di sekitarku pun dulu tampak berbeda sekali. Hanya ada batang dan ranting pohon tanpa dedaunan sehelaipun. Perlahan tapi pasti, pucuk-pucuk hijau muda mulai muncul memberi wana pada ranting yang coklat tua. Tidak berapa lama kemudian daun-daun hijau muda itupun berubah menjadi cerah.
Aku rasa semua juga berpendapat bahwa negeri Sakura ini indah. Tapi apakah ada yang pernah berpikir bahwa negeri ini benar-benar indah? Hanya dengan duduk di bawah pohon di depan perpustakaan kampus ini, kita bisa merasakan perubahan suasana dari waktu ke waktu. Musim panas yang menjelang akan memberi lebih banyak warna hijau pada dedaunan. Kemudian musim gugur memberi warna yang berbeda lalu merontokkan semuanya. Belum lagi  musim dingin kala daun-daun telah rontok dan salju tipis turun menyelimuti semuanya. Waktu lalu terus berputar membawa kembali pucuk-pucuk bunga di pohon Sakura itu.
Begitu banyak warna-warni indah di negeri ini. Demikian pula aku yakin bahwa akan begitu banyak warna dalam hidupku selama berada di kota Matsuyama ini. Nasib memang telah membawaku terlalu jauh  ke sini. Aku dan juga puluhan bahkan ratusan teman-teman dari Indonesia. Aku hanya berharap semoga kami yang telah dipertemukan oleh nasib di sini senantiasa bisa mengikuti warna-warni perubahan waktu dengan kebersamaan dan persaudaraan dalam ikatan PPI Aidai, Shikoku dan Jepang. Dengan begitu maka perubahan tersebut akan memberi warna yang cerah untuk kami.
Lonceng masuk berbunyi tanda aku harus mengakhiri nostalgiaku. Nasib sepertinya memang telah membawaku sangat jauh hingga ke kampus ini. Tapi, aku optimis nasib juga akan membawaku dan teman-temanku kembali pulang ke negeri kami dengan penuh kebanggaan pula. InsyaAllah.. Amin.

~Selesai~

NB: Tulisanku ini aku buat khusus untuk penerbitan buku PPI Shikoku. Semoga dimuat. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar