Selasa, 28 Juni 2011

Panass.. Panasss..

Selalu ada dilema setiap kali ingin menyalakan AC di sini. Mungkin akan ada berkata, "Nyalain AC aja kok repot?! Kan tinggal pencet tombol ON. Beres!". Bukan begitu.. Nanti akan kuceritakan sebabnya.

Sepertinya efek pemanasan global semakin lama semakin menjadi. Buktinya, di Indonesia sendiri musim sudah tidak jelas lagi. Yang seharusnya musim kemarau, justru hujan turun tiada henti. Bahkan seingatku, sepanjang tahun lalu hanya ada musim hujan. Dengar-dengar sekarang mulai terasa masuk musim kemarau. Di satu sisi, frekuensi hujan yang tinggi bagus karena berarti sawah-sawah bisa ditanami padi sepanjang tahun. Tetapi di sisi lain, sawah yang kebanyakan ditanami padi membuat produksi palawija termasuk sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan cabe otomatis menurun. Ini membuat harga-harganya melonjak di pasaran. Demikian pula dengan bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi silih berganti.


Perubahan cuaca yang ekstrim juga terjadi di Jepang saat ini. Akhir bulan Juni seharusnya baru memasuki akhir musim semi. Suhu udara yang mulai panas tentu wajar terjadi. Yang menjadi masalah adalah penambahan derajat panas yang cukup signifikan mulai di pertengahan minggu yang lalu. Sebelumnya hujan gerimis kerapkali turun sehingga suhu hanya berkisar antara 17-24 derajat celsius. Nah, setelah hujan tidak lagi turun, tiba-tiba suhu naik ke angka di atas 30 derajat! Dua hari pasca hujan berhenti, suhu berkisar 30-31 derajat. 2 hari yang lalu, suhu tertinggi di Jepang mencapai 39,8 derajat! Menurut berita, perubahan itu sangat ekstrim jika dibandingkan tahun lalu di waktu yang sama.

Dulu, beberapa kali aku bertanya ke orang Jepang dan orang Indonesia yang pernah merasakan musim panas di Jepang mengenai sepanas apa sih Jepang? Memang ada yang sepanas Indonesia di musim kemarau? Semua menjawab, "Mushi atsui". Katanya susah dijelaskan dengan kata-kata tetapi intinya terasa lebih berat dibanding di Indonesia. Dijelaskan berkali-kali pun aku tidak juga mengerti. Akhirnya beberapa hari yang lalu aku bisa mengerti apa itu Mushi atsui.

Mushi atsui adalah panas lembab yang membuat kita terus menerus berkeringat. Rasanya memang sangat berbeda dengan di Indonesia. Dengan panas yang sama, lebih banyak keringat yang keluar di Jepang. Belum lagi angin sepoi yang seharusnya membawa sedikit kesejukan, justru membuat terasa lebih panas. Benar, bukan cuma terik matahari yang panas, tetapi juga anginnya terasa panas. Jika di Indonesia, saat berteduh di bawah pohon atau naik motor maka kita akan merasa sedkit sejuk, di Jepang tidak seperti itu. Makanya, malam pun di sini terasa panas dan membuat kita keringatan. Karena alasan itu aku tidak berpikir untuk mengambil kipas angin di gudang kampus. Nyaris tidak ada pengaruhnya soalnya..

Yang menarik di Jepang adalah sebelum pergantian musim maka produk-produk baru sehubungan dengan musim yang akan datang mulai dipasarkan. Misalnya saja produk kemeja pria yang mampu menyerap keringat dan antibau sehingga nyaman dipakai di musim panas sekalipun. Ada juga produk blus untuk wanita yang di bagian ketiaknya diberi kain pelapis sehingga wanita yang memakainya tidak perlu merisaukan keringat di bagian ketiak yang biasa mengganggu. Iklan produk pelapis ketiak yang mirip pantyliner wanita juga bisa dilihat di tv. Belum lagi kipas angin atau AC yang dipercaya lebih efisien dalam penggunaan listriknya. Yang terbaru adalah produk semacam spray yang jika disemprotkan ke kemeja, dipercaya bisa memberikan kesejukan bagi yang memakainya. Ada-ada saja..

Nah, kita kembali ke topik awal soal AC ya. Hampir setiap hari berita soal kekurangan energi yang melanda Jepang bisa dilihat di tv. Katanya krisisnya sudah cukup parah. Dari berita juga aku bisa tahu bahwa Jepang ternyata sangat tergantung pada batu bara dan gas dari Indonesia dan Thailand. Untuk itu pemerintah menetapkan beberapa peraturan (apa ini masih sekedar wacana ya? Tapi sepertinya sih sudah diberlakukan di beberapa kantor). Kalau tidak salah dengar, karyawan sudah diharuskan pulang pada pukul 16.50 sore dan lembur yang tidak perlu juga ditiadakan. Bisa dibayangkan pegawai Jepang yang dikenal dengan waktu kerja terlama dan kebiasaan lemburnya harus pulang di jam seperti itu.

Dari beberapa orang yang diwawancarai, sebagian di antaranya menyambut gembira kebijakan tersebut. Menurut mereka, dengan begitu mereka memiliki waktu lebih banyak untuk keluarga. Sebelumnya pekerjaan telah membuat mereka jauh dari keluarga. Bahkan hari Sabtu dan Minggu yang seharusnya adalah waktu untuk keluarga biasanya lebih banyak tersita untuk lembur dan kegiatan kantor lainnya. Namun demikian, yang lain justru sebaliknya. Kurangnya jam kerja berarti penghasilan pun akan berkurang. Padahal kebutuhan hidup semakin lama semakin banyak.

Ini memang pilihan yang sulit. Berdasarkan penelitian, penggunaan listrik di seluruh Jepang memang melonjak drastis dalam beberapa hari ini. Wajar, karena bisa dibayangkan berapa banyak AC maupun kipas angin yang dinyalakan secara serentak ketika suhu sudah tidak bisa ditoleran lagi. Meskipun begitu, slogan 'Setsuden' atau Hemat Listrik terus didengungkan di mana-mana. Di kampus pun, AC tidak begitu saja dinyalakan oleh dosen atau petugas perpustakaan misalnya. Seperti yang aku bilang tadi, hanya jika panasnya sudah benar-benar tidak tertahankan. Di perpustakaan di siang hari seperti ini sudah pasti AC dinyalakan. Namun, begitu sudah agak sore dan suhu (masih gerah sebenarnya) sudah sedikit turun, petugas perpustakaan dengan segera membuka semua jendela-jendela lalu mematikan AC. Demikian pula di kelas.

Kuliah pagi jam 08.30 Selasa yang lalu terasa cukup berat. Sebelum berangkat ke kampus aku sempat menonton berita yang memberitahukan bahwa suhu udara di pagi itu sudah mencapai 33 derajat. Seperti biasa, aku selalu menyempatkan diri menonton drama pagi baru berangkat dengan terburu-buru ke kampus. Setibanya di kelas, udara yang tidak kalah gerah menyambutku. Ternyata, Barat Sensei belum menyalakan pendingin ruangan! Seisi kelas terlihat menggerutu sambil mengipas  menggunakan buku atau kertas apa saja yang ada dengan cepat seolah itu bisa memberi efek dingin. Barat  Sensei tidak mau kalah. Sambil tidak henti mengipas dan mengusap wajahnya, Beliau memulai kuliah hari itu. Benar-benar berat harus berkonsentrasi di dalam ruangan seperti itu. Jendela-jendela kelas yang besar-besar memang telah dibuka agar angin bisa masuk. Namun angin yang masuk justru membuat udara lebih gerah. Berkali-kali Barat Sensei mengusap keringat yang mengucur di keningnya. Sesekali Beliau melipat menyingsingkan lengan bajunya yang pendek. Mungkin agar angin segar juga bisa masuk menyejukkan badannya. Meskipun mahasiswa tampak tidak senang, sepertinya tekadnya untuk disiplin dalam penggunaan listrik sangat gigih. Mungkin dengan cara itu Beliau berharap agar seluruh mahasiswanya dapat belajar bersabar dan berusaha hemat. Kegigihan Beliau memang patut diacungi jempol menurutku. Namun, dengan kondisi ruangan seperti itu, sudah hampir pasti sebagian besar mahasiswa tidak mampu berkonsentrasi dan beberapa bahkan tertidur di kursinya. Aku sendiri nyaris tidak mampu menahan kantukku. Hanya rasa hormat kepada Barat Senseilah yang membuatku berusaha tampak tenang dan fokus hingga akhir kuliah.


Sebuah program tv mengenai penghematan listrik juga menarik perhatianku. Di situ ditampilkan beberapa ahli yang menjelaskan bagaimana cara kita dapat melakukan penghematan listrik skala kecil. Salah satunya adalah pada cara penggunaan AC di rumah. Pada umumnya kita berpendapat bahwa agar mendapatkan udara yang dingin, maka AC diarahkan tepat ke arah kita (baca: bawah). Ternyata, setelah dilakukan percobaan di sebuah ruangan tertutup, justru AC lebih tepat diarahkan lurus ke depan karena udara dingin akan segera berhembus ke depan dan ke bawah. Setelah dihitung penggunaan listriknya, cara ini terbukti cukup ampuh mengurangi penggunaan listrik karena ruangan akan lebih cepat dingin dibanding jika AC diarahkan ke bawah.

Cara lain yang akhir-akhir ini cukup populer di kalangan masyarakat Jepang adalah dengan menanam tumbuhan rambat di dinding rumah. Yang menariknya lagi, salah satu tumbuhan rambat yang terbukti ampuh memberi kesejukan ke dalam rumah adalah buah pare (Aku lupa bahasa Jepangnya). Hanya saja yang menjadi masalah adalah bau khas yang dikeluarkan oleh pare tidak sukai sehingga beberapa orang lebih memilih alternatif  tanaman yang lain. Selain itu juga pare tidak begitu lazim dikonsumsi di sini. Sebagai alternatif lain, ada beberapa tumbuhan rambat lainnya yang dipercaya memiliki efek yang hampir sama. Aku baru ingat kalau di beberapa rumah yang kulalui jika menuju kampus memang menanam tumbuhan rambat di bagian luar dinding rumahnya. Ternyata tujuannya sama seperti ini.

Cara yang berikutnya adalah memasang kain jala (umumnya berwarna hitam dan biasanya dipakai untuk melindungi tanaman dari sinar matahari di ladang-ladang) di bagian luar jendela atau pintu belakang. Dengan begitu, angin yang berhembus masuk ke dalam rumah akan lebih sejuk dari sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian dan percobaan, diketahui bahwa jendela dan pintu rumah  pada musim panas seperti ini diibaratkan seperti permukaan penggorengan (bahasa Jepangnya furaido pan atau wajan penggorengan). Dia menyerap panas dari luar sehingga seisi rumah juga  ikut menjadi panas. Usaha yang biasa dilakukan untuk menghindari kondisi ini adalah dengan menutup gorden rumah sehingga cahaya sedikit redup dan memberi efek dingin bagi kita. Namun, setelah diadakan percobaan, ternyata efek dingin itu hanya bertahan sebentar. Kain gorden tersebut justru berubah menjadi permukaan penggorengan juga. Nah, dengan adanya kain jala hitam di luar jendela, maka udara panas yang masuk ke rumah diserap dulu oleh kain tersebut. Udara yang akhirnya masuk ke rumah adalah udara yang lebih sejuk dan segar. Katanya, yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai bagian bawah kain jalanya menempel langsung ke bagian bawah jendela. Harus ada space yang cukup antara bagian bawah kain dan bagian bawah jendela agar efeknya maksimal.

Seorang ahli yang ikut berbicara di acara tersebut memperlihatkan metode lain yang dipergunakan di rumahnya sendiri. Agak mengherankan karena tidak ada satupun AC di rumahnya. Ternyata kuncinya adalah memanfaatkan jalan angin. Dengan membuka semua jendela bagian depan dan belakang, angin bisa masuk dengan leluasa ke dalam dan keluar rumah. Namun demikian, untuk memaksimalkan efek dingin angin tersebut maka harus dibuka jalan bagi angin keluar-masuk. Selama ini kebanyakan dari kita hanya memperhatikan bagaimana caranya memasukkan angin sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan jalan keluarnya. Jika dia ingin ruangan tengah yang terasa dingin, maka pintu-pintu lain di dalam rumah ditutup. Hanya pintu yang berada di ruangan tengah yang dibuka sehingga angin dari jendela belakang rumah masuk, mengalir melalui ruangan tengah dan akhirnya keluar dari jendela depan. Demikian pula jika dia ingin agar dapur tempat istrinya sedang memasak terasa sejuk, maka hanya pintu dapurlah yang dibuka sehingga angin mengalir melalui dapur. Mungkin agak sulit membayangkan situasinya tanpa gambar dan pemahaman yang cukup tentang struktur rumah di Jepang. Intinya adalah, berbagai cara dicari agar dapat mengurangi penggunaan listrik di musim panas ini. Penelitian dan percobaan terus dikembangkan sehingga upaya penghematan bisa dilakukan secara individu maupun skala yang lebih besar.

Di berita tadi pagi aku juga melihat bahwa di toko-toko elektronik, tingkat penjualan kipas angin seluruh Jepang mengalami penjualan hampir 300% jika dibandingkan tingkat penjualan di waktu yang sama tahun lalu. Ketika hal ini ditanyakan kepada seorang pembeli, dia berkata berusaha menghemat penggunaan AC di rumahnya dengan menggantinya dengan kipas angin. Di puncak musim panas nantipun dia bertekad untuk tidak menyalakan AC. Hal yang sama juga dituturkan oleh beberapa orang yang lain. Akibatnya, stok kipas angin di beberapa toko habis diborong pembeli. Seorang nenek tua yang datang dengan niat yang sama terpaksa pulang dengan tangan hampa. Selain itu, ketika dilakukan angket mengenai penggunaan AC di malam hari. Pilihan yang ada: 1. Menggunakan sepanjang malam. 2. Menyetel timer 1 jam. 3. Menyetel timer 2 jam. 4. Menyetel timer 3 jam. dan 4. Menyetel timer 4 jam. Hasilnya cukup mencengangkan. Sebagian besar memilih opsi ke-2 yaitu menyetel timer AC 1 jam. Menurut mereka, 1 jam cukup untuk membuat mereka terlelap sehingga ketika terlelap mereka merasa tidak memerlukan AC lagi. Ini menunjukkan kepedulian masyarakat Jepang yang demikian tinggi dalam penghematan listrik.




Jika sudah begini, bagaimana aku, seorang Indonesia yang mendapatkan beasiswa pemerintah Jepang  dari hasil pembayaran pajak warga Jepang bisa dengan cuek tanpa rasa bersalah menyalakan AC kapan saja di musim panas ini ???


~Selesai~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar