Sabtu, 18 September 2010

Sekinin Hatasu, Sekinin o Toru; Efek jera jika lalai dari tanggung jawab

Hari-hari awal di sini benar-benar membuatku pusing. Apa yang harus Aku lakukan untuk mengisi waktu-waktu kosongku? Ingatan akan hobiku menonton film membuatku menyempatkan diri sepulang dari kampus untuk sekadar melihat-lihat koleksi dvd di toko-toko dvd bajakan yang berderet di sepanjang lorong dekat stasiun. Apa yang harus dibeli ya? Yang pasti jangan beli film horor. Action dan drama bolehlah. Akhirnya Aku memutuskan membeli satu film drama Hollywood yang dilihat sekilaspun tampak tidak meyakinkan dan drama Jepang terbaru (Aku melihat salah satu aktornya Kimutaku. Biasanya lumayan). Saat ini yang Aku butuhkan hiburan yang ringan supaya
tidak menambah pusing kepala.
Tidak ada yang spesial dari film itu. Hanya sebuah drama percintaan yang mudah ditebak endingnya. Sebuah cerita dengan awal indah, sedikit masalah di tengah, dan kembali diakhiri dengan menyenangkan seperti harapan penonton. Andai hidup semudah itu.
Yang ingin Aku ceritakan di sini adalah satu scene di drama Jepang. Drama itu bercerita tentang seorang direktur perusahaan yang sangat ambisius. Masa lalunya yang tidak begitu menyenangkan membuatnya tumbuh menjadi pria yang selfish dan tega melakukan cara apapun untuk mencapai maksudnya. Satu ketika, perusahaan furnitur miliknya mengalami musibah. Sebuah kursi elektrik produksi anak perusahaannya di Shanghai yang telah dibeli oleh sepasang suami-istri meledak dan melukai putra mereka.
Sebuah konferensi pers yang diliput semua stasiun televisi nasional dilakukan. Direktur dan direksi tertinggi perusahaan harus meminta maaf atas kejadian tersebut. Permintaan maaf diakhiri dengan ojigi atau bungkuk 90 derajat secara bersama-sama untuk menunjukkan penyesalan mereka. Bukan hanya itu, Direktur dan direksi lalu mengunjungi korban dan melakukan hal serupa. Pada situasi seperti ini, lazimnya seorang direktur akan melakukan konferensi pers untuk mengumumkan kepada publik bahwa dirinya merasa bertanggung jawab dan menyatakan pengunduran diri. Apalagi setelah diselidiki diketahui bahwa kesalahan pada produk itu disebabkan oleh kebijaksanaan perusahaan yang mem-phk banyak karyawan sehingga karyawan yang tersisa mendapatkan beban kerja berlebih yang membuat mereka tidak mampu bekerja secara maksimal. Namun, direktur ini tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukannya sehingga terjadi ketidakpuasan dan berakhir dengan kudeta.
Ini adalah suatu contoh kecil kebiasaan yang berlaku di masyarakat Jepang yang masih ada hingga saat ini. Lalai akan kewajiban mengharuskan seseorang membayar mahal kesalahannya.
Ketika berada di Jepang Aku pernah melihat hal serupa. Saat itu terjadi peristiwa keracunan yang disinyalir berasal dari Gyoza, sejenis lumpia khas China. Peristiwa ini diliput secara luar biasa oleh media massa di Jepang. Peristiwa ini juga sempat merenggangkan hubungan Jepang-China karena Gyoza tersebut adalah makanan impor dari China. Semua produk makanan yang sama ditarik dari pasaran Jepang. Begitu luar biasanya nilai sebuah kepercayaan di Jepang sampai-sampai produk-produk makanan lain yang berasal dari China mengalami cekal dan diharuskan melalui proses pemeriksaan yang lebih ketat lagi sebelum masuk ke pasar Jepang. Tidak lupa juga prosesi permintaan maaf seperti yang terjadi dalam drama Jepang itu dilakukan. Direktur dan direksi perusahaan pengimpor makanan itu melakukan Ojigi di depan televisi nasional.
Efek dari kelalaian tersebut juga berujung panjang. Konsumen Jepang yang sangat kritis dan peduli akan kualitas produk yang mereka konsumsi juga melakukan penolakan terhadap produk-produk lain yang serupa. Bisa kita bayangkan bagaimana kondisi perusahaan itu pasca kejadian tersebut.  Di drama juga Aku lihat perusahaan harus bertanggung jawab dengan mengambil kembali produk-produk bermasalah dari rumah-rumah konsumennya.
Aku tidak ingat lagi tahun berapa kejadian serupa berlangsung di Jepang. Sebuah kereta JR (Japan Railway) terlepas dari relnya dan kalau tidak salah melukai puluhan atau bahkan ratusan orang. Menurut seorang teman Jepangku, kejadian itu begitu luar biasa. Dia menceritakan bagaimana permintaan maaf dilakukan di depan media massa. Bukan hanya itu, Direksi perusahaan juga mengunjungi semua korban yang jumlahnya banyak sekali dari pintu ke pintu. Permintaan maaf tidak hanya dilakukan dengan Ojigi 90 derajat, tapi juga dengan bersujud di depan korban-korban yang dibalas caci-maki, umpatan dan semprotan ludah. Ternyata, yang membuat kesalahan perusahaan mereka semakin bertambah besar adalah bahwa pada saat yang sama dengan waktu kejadian, perusahaan sedang melakukan pesta pora. Hmm..
Kesadaran seorang pemimpin untuk memikul tanggungjawab adalah poin penting di sini. Kesalahan yang mungkin saja dilakukan oleh bawahan tanpa dia ketahui sekalipun tetap menjadi kesalahan pimpinan, apapun alasannya. Budaya ini membuat seorang pimpinan benar-benar sangat berhati-hati dalam menjalankan roda perusahaan maupun organisasinya. Konsekuensi yang harus ditanggung jika sampai terjadi kesalahan sangat berat dan memberi efek jera yang luar biasa. Andai rasa tanggung jawab seperti ini juga dimiliki oleh semua pimpinan, sekecil apapun organisasinya, di seluruh dunia, khususnya Indonesia tercinta, maka akan dapat dibayangkan bagaimana jadinya negara kita ini.

-selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar