Kamis, 16 September 2010

Perjalanan balik ke Dpk 2010-09-14

Seperti dugaanku, bandara hari itu ramai sekali. Maklumlah sedang arus balik mudik. Aku bergegas masuk sambil mencoba mengusir sedih melihat wajah anakku yang cemberut. Lucu, tapi membuatku merasa bersalah. Apakah mungkin dia sudah dapat merasakan bahwa sebentar lagi ibunya akan meninggalkannya? Entahlah.. Meski masih 13 bulan, Aku sedikit yakin akan hal itu.
Tiketku kali ini e-ticket yang dipesankan suamiku secara online. Ada sedikit masalah
memang. Dia tidak menyadari bahwa penerbangan yang telah dipesannya mengharuskanku transit di Sby meski hanya beberapa menit. Beberapa menit di Sby berarti tambahan min 20 menit persiapan landing dan min 20 menit lagi untuk persiapan boarding. Tak apalah. Toh Aku memang sudah lama tidak menginjakkan kaki di sana.
BAir memang masih terasa kurang familiar buatku yang terbiasa dengan LAir. Termasuk ketidaktahuanku bahwa konter check in dan gate nya agak jauh dibanding perusahaan penerbangan lain yang Aku sebutkan tadi.
Seperti dugaanku, tapi tidak seperti harapanku, penerbangan ditunda. Entah untuk berapa lama Aku tidak tahu karena tidak ada satupun pengumuman di speaker yang terus-menerus bersuara tiada henti, yang menyebutkan tentang keterlambatan pesawatku. Kami para penumpang yang notabene mestinya diperlakukan secara lebih baik, diterlantarkan begitu saja. Aku hanya bisa tahu bahwa pesawat kami akan mengalami keterlambatan dengan melihat dari jendela jika belum ada satupun pesawat dengan nomor penerbangan kami yang tiba di bandara. Hmm.. Ini akan jadi hari yang panjang dan melelahkan (lagi), pikirku.
Sungguh miris melihat kondisi pelayanan publik di negeri ini. Ambil contoh situasi yang sedang Aku hadapi. Selantang apapun pelanggan penerbangan berteriak melalui media massa tentang keluhan mereka akan buruknya pelayanan perusahaan penerbangan, sepertinya tidak ada efeknya. Keterlambatan menjadi hal yang lumrah dan mau tidak mau harus diterima dengan lapang dada oleh semua orang.
Ah sudahlah.. Tidak ada gunanya berargumen soal ini. Sepertinya semua penumpang lain yang ada juga terpaksa pasrah sepertiku.
Suasana bandara termasuk ruang tunggu benar-benar riuh. Ramai. Dua konter perusahaan penerbangan yang berbeda yang berada di dekat pintu keluar terlihat menyiapkan minuman sekadarnya untuk menghibur para penumpang. Anak-anak kecil dan orangtuanya terlihat hilir mudik. Hampir tidak terlihat satupun penumpang yang komplain ataupun terlihat galau di depan konter. Aku rasa mereka semua masih larut dalam eforia mudik lebaran di kampung halaman dan merasa enggan untuk meninggalkan kota ini. Entahlah.
Bagaimana denganku? Aku berusaha tidak mengingat-ingat lagi wajah protes anakku. Maaf yah, Ibu harus pergi Nak. Aku justru galau dengan kemungkinan aku tidak akan mendapat damri setibanya di Jkt nanti. Apa yang harus aku lakukan jika itu terjadi? Menumpang nginap di kos teman di Karet? Risih rasanya. Ke Wisma pemdaku? Takut penuh malam-malam begini. Opsi terakhir adalah naik taksi. Wah, ini juga rasanya sulit. Dengan kondisi dompet seperti sekarang, jarak Ckg-Dpk yang entah berapa jauh dan harus ditempuh dengan taksi membuat perutku mulas. Syukurlah sms dari seorang teman membuatku tenang. Damri sampai jam 10 mlm kok, katanya.
Akhirnya setelah hampir 2 jam menunggu dalam ketidakpastian, pesawat yang ditunggu pun datang. Nyanyian permintaan maaf tanpa rasa bersalah terdengar di awal pengumuman di pesawat. "Karena alasan operasional...". Basi.Andai Aku berada di Amerika Serikat atau Jepang, tentu sudah kususun strategi untuk menuntut perusahaan ini. Waktu yang merupakan hal yang dianggap sangat berharga di negeri-negeri itu membuatnya dapat sangat memberatkan tuntutanku nanti. Andai oh andai.
Tempat dudukku yang berada di sisi jendela membuatku leluasa memandangi bandara dan rumah-rumah yang semakin mengecil di bawah kami. Kupandangi pantai Makassar yang semakin jauh berada di belakang hingga akhirnya menghilang digantikan awan-awan tipis di langit.
Setelah 1 jam lebih akhirnya kami mendarat di Sby. Menurut pengumuman kami akan hanya berada di sini 20 menit sebelum kembali terbang. Syukurlah.
Satu persatu penumpang yang turun di sini keluar dan digantikan oleh penumpang yang akan ikut terbang ke Jkt. Ada satu pemandangan menarik yang kulihat di dekat tangga pesawat. Seorang remaja laki-laki kira-kira berusia 12-15tahun berdiri sambil memegang erat sweater di tangannya. Di sampingnya, seorang lelaki paruh baya duduk di kursi roda. Belum begitu tua. Mungkin sekitar 40tahunan. Namun, raut wajahnya yang tampak kuyu dan rambut di kepala bagian atasnya yang tampak agak botak, menandakan dia sedang sakit parah. Apalagi ketika dia menaiki tangga pesawat dengan tertatih-tatih dituntun oleh bocah yang sepertinya adalah putranya, membuatku semakin tertarik memperhatikan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar